Kegelisahan Pekerja Kemanusiaan di Papua
Suara pembaruan
Tidak dapat disangkal bahwa kunjungan utusan Khusus PBB yang membidangi urusan pembelaan terhadap para pekerja kemanusiaan alias pembela hak asasi manusia (HAM) ternyata menyisakan kegelisahan. Kegelisahan itu, umumnya lebih terasa di kalangan para pekerja pembela HAM. Hal tersebut terungkap dalam sebuah temu pers bersama FOKER LSM Papua di Waena, baru-baru ini.
Dalam pertemuan yang dihadiri sebagian utusan para pejuang dan pekerja HAM di Papua, terungkap bahwa dengan hadirnya utusan khusus PBB untuk urusan pembelaan HAM, Hina Jilani, di Papua memberi dampak positif bagi para pekerja HAM. Artinya, para aktivis pembela kemanusiaan semakin menyadari dan paham kalau mereka memiliki hak-hak yang seharusnya dilindungi oleh negara
"Kunjungan Hina membuat kita sadar bahwa negara seharusnya melindungi para pekerja HAM karena selama ini mereka bekerja tanpa memperhatikan dirinya sendiri," ujar aktivis pembela HAM, Diaz Gwijangge.
Direktur LBH Papua, Pascalis Letsoin SH mengatakan, ke depannya sebaiknya dibentuk lembaga atau wadah apa saja namanya untuk mengadvokasi para pekerja HAM. Tugas wadah ini adalah menerima laporan dan meneruskannya kepada badan-badan khusus PBB yang berkompeten.
Matius Murib dari Kontras Papua mengatakan, kunjungan Hina membawa dampak bagi para pekerja HAM. Ada dua hal, yakni dampak positif dan negatif. Dampak positif dimaksud adalah semua pihak menjadi sadar bahwa para pekerja HAM mempunyai hak-hak yang harus dilindungi negara. "Namun, juga kami merasa bahwa setelah kunjungan itu, kami justru merasa bahwa ancaman itu semakin dekat," katanya.
Mencermati perkembangan pascakunjungan Hina Jilani di Jayapura pada 8 Juni lalu, para aktivis pembela HAM yang tergabung dalam Koalisi Pembela HAM di Papua menilai kalau telah terjadi pembentukan opini yang menyesatkan di masyarakat.
Salah Kaprah
Ada kesan bahwa tanggung jawab penyelesaian pelanggaran HAM di Papua dilimpahkan kepada wakil khusus PBB yang datang hanya fokus pada isu pelanggaran HAM secara umum.
Untuk menyikapi itu, Koalisi Pembela HAM di Papua menyatakan, publik Papua hendaknya jeli mendudukkan semua polemik dengan melihat mandat khusus yang diemban Hina Jilani. Sesungguhnya mandat itu telah melewati proses yang cukup panjang sampai dikeluarkan resolusi Komisi HAM PBB 2000/61 tertanggal 26 April 2000.
Dalam resolusi itu disebutkan tiga tugas utama utusan khusus PBB, yakni Pertama, mencari, menerima, menguji, dan menanggapi informasi mengenai keadaan dan hak setiap orang yang bertindak secara perorangan maupun bersama-sama dalam memajukan dan melindungi HAM dan kebebasan dasarnya.
Kedua, membangun kerja sama dan melakukan dialog dengan kalangan pemerintah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan pada pemajuan dan pelaksanaan Deklarasi PBB tentang Pembelaan HAM tahun 1998 secara efektif. Ketiga, memberikan saran-saran strategis yang lebih baik bagi perlindungan para pembela HAM.
Dengan demikian jelaslah, bukan merupakan tugas wakil khusus untuk menangani apalagi penyelesaian soal pelanggaran HAM di Papua. Tugas dan wewenangnya terbatas sebagai alat yang disediakan oleh Badan PBB untuk membantu negara-negara, termasuk Indonesia dalam memajukan, melindungi, dan menegakkan hak-hak para pembela HAM. Selain itu, wakil khusus PBB ini memfokuskan diri pada para pembela HAM dan bukan pertama-tama pada pelanggaran HAM secara umum.
Pembedaan ini perlu digarisbawahi secara tajam, agar masyarakat Papua tidak terjebak dalam harapan palsu yang dimunculkan di publik oleh pihak-pihak yang hendak mengalihkan tanggung jawab negara untuk melindungi HAM kepada mekanisme PBB yang sebenarnya hanyalah merupakan alat bantu bagi negara.
Pasal 281 ayat (4) amendemen II UUD 1945 jelas-jelas mengatakan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
"Ini berarti seluruh lembaga negara mulai dari pemerintah daerah, DPRP, MRP, Kejaksaan Tinggi, TNI, Polri, dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait memiliki tugas utama untuk memenuhi perintah konstitusi sebagai dasar hukum negara tertinggi di negara Republik Indonesia," tegas Sekretaris Eksekutif FOKER LSM Papua, Septer Manufandu. [SP/Gabriel Maniagasi]
|